Kali ini jadi sering banget nge-post di blog ini, berhubung ini blog baru yang saya bikin dan emang lagi jadi ratu di rumah, alias ga ke mana-mana, alias bebas, alias nganggur. Saya ini lagi full-time di rumah tapi saya tidak bersedih karena saat-saat inilah saya bisa mengembangkan kreativitas.
Angkot ini yang kunaikin. Jurusan Cibaduyut-Karangsetra. Jauh juga loh ini rutenya kayak Bandung-Jakarta. |
Karena beberapa waktu lalu saya posting serial FTV saya yang berjudul "Sesenggukan di KRL", kali ini ada juga versi angkotnya. Kejadian ini saya alami sekitar 2 atau 3 tahun yang lalu di Jalan Sudirman, deket sama tempat saya kerja.
Hemm, tapi jangan bayangkan Jalan Sudirman di Bandung itu sama dengan di Jakarta. Bagai puncak Gunung Sahari dan dasar Laut Cina Selatan yang selalu diperebutkan seperti aku yang diperebutkan oleh Rio Dewanto dan Rio Haryanto. (Betewe, yang namanya Rio kok ganteng-ganteng ya? Cari suami dan kasih nama anak Rio aja. Ganteng dan berprestasi!)
Kalau di Jalan Sudirman Jakarta banyak gedung-gedung pencakar langit yang kalau dilihat aja musti ndangak-ndangak,* kalau yang di Bandung banyak rumah-rumah kecil peninggalan Belanda yang dijadikan tempat usaha. Di sini semacam China Town-nya Bandung.
Oke, balik ke tema sesenggukan kita hari ini. Setelah saya pulang dari kantor, saya menuju ke rumah dengan angkot. Ya, apalagi selain transportasi masal penuh cerita dan penuh tanya ini.
Penuh tanya?
Ya karena saya nggak pernah mengerti kapan angkot berhenti, belok, dan tancap gas. Hanya supir dan Tuhan yang tahu :)
Nah, saya naik suatu angkot yang saat itu sudah ada seorang ibu dan anaknya yang kira-kira masih berusia 8 tahun. Tapi begitu saya naik, si ibu menangis. Ha? Emang muka saya muka monster bu? Kehadiran saya membuat ibu bersedih? Kecewa? Apakah ibu habis ngelihat hantu? Wong saya geulis gini Bu. Boleh dong senyum dikit, ehem.
Si anak gak berapa lama bilang, "udah bu. Jangan nangis."
Si ibu mengelap air matanya dan hanya mendengarkan omongan anaknya. Saya sebenernya super gak tega lihatnya karena saya juga pernah ada di posisi ibu itu, walaupun tangisan saya teredam sama suara angkot dan klakson angkot yang tenonet-tenonet-tenonet-tenonet! Saya antara pengen nolong, tapi saya takutnya ikut campur sama urusan si ibu. Karena kebanyakan nonton Puser, eh, Buser, saya jadi takut karena cuma mau (sedikit) ikut campur malah diserang. Jadi lucu kalau saya masuk headline Kompas, "Seorang Anak Hilang karena Menolong Ibu yang Menangis." Saya berpikir kalau ibu itu habis ngalamin masalah rumah tangga, bertengkar sama suami, dicerain sama suami, ditipu oleh penipu yang tipu-tipu, atau gak bisa bayar uang sekolah. Amit amiiittt!!! Saya sungguh gak tega. Antara mau nyamperin, nggak, nyamperin, nggak, nyamperin, nggak, nyamperin, nggak. Saya hitung kancing, tapi seketika itu juga ia turun dari angkot. Duh kelamaan hitung kancingnya. Saya telah ber-do-sa, cuekin sesama makhluk Tuhan
Setidaknya dengan kekuatan sesama perempuan, saya bisa menguatkan ibu ini secara emosional. Sampai sekarang saya masih kepikiran sama ibu itu dan kelak kalau dipertemukan, saya pengen menolong ibu itu, walaupun saya udah gak inget sama mukanya. Gimana kalau ternyata kita punya masalah yang sama? Berat sekali hidup ini ya, gais. Tapi hidup ini indah karena semua ini pemberian Tuhan :")
Sudah bersyukur belum hari ini?
*ndangak-ndangak is kosakata Jawa yang artinya mendongak. Semacam melihat puncak Monas dari dasar Monas.
No comments:
Post a Comment